Tidak ada seorangpun
yang mau dilahirkan sebagai penyandang cacat. Baik cacat fisik maupun cacat
mental, tak ada yang mengharapkan hal tersebut terjadi. Tapi jika takdir
berkata lain, ingatlah Tuhan memiliki rencana indah atas apa yang dibebankan
pada hamba-Nya. Jika semua orang terlahir dengan keadaan normal, maka tidak akan
ada perbedaan yang membuat kita tenggang rasa antar sesama.
Memiliki keterbatasan
bukan berarti harus berhenti bermimpi. Hanya berbeda bukan berarti tak sama. Setiap
orang memiliki hak yang sama di mata Tuhan, lalu bagaimana mungkin manusia bisa
membatasi hak setiap orang hanya karena perbedaan.
Seperti kisah seorang
mahasiswa salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia ini. Sebut saja
namanya Jalun, sekilas dia tak ada bedanya dengan teman sesamanya. Bahkan jika
dia berjalan bersamaan dengan temannya yang lain, nyaris tak ada yang tahu
bahwa jalun (mohon maaf) berkebutuhan khusus. Diusia yang seharusnya sudah
mulai berperilaku dewasa, jalun masih seperti anak-anak. bahkan merasa
tersindir dan disudutkan, dia akan memberikan respon negatif. Tidak jarang
emosi diluapkan dengan melempar barang yang ada disekitarnya. Lagi-lagi berbeda
bukan berarti tak sama, siapa yang menyangka bahwa Jalun ini bisa diterima
Universitas ternama dengan seleksi yang ketat.
Memang benar penyandang
difabel atau difabilitas dan sering kita sebut dengan keterbatasan diri
dilindungi oleh Undang-Undang RI No 4 tahun 1997 yang membahas tentang difabel.
Adanya Undang-Undang tersebut bertujuan
sebagai upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat berlandaskan
pancasiladan uud 1945 dan juga agar setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan
kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Namun pada kenyataannya
kebijakan Pemerintah yang ada saat ini cenderung hanya berbasis pada belas
kasihan. Tapi kisah dari Jalun ini bisa menginspirasi kita, bahwa penyandang
difabel pun berhak untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Perguruan
Tinggi untuk anak berkebutuhan khusus memang belum ada, namun bukan berarti
tidak mungkin untuk melanjutkan kuliah bukan?. Kiranya ini bisa menjadi
motivasi bagi mereka yang saat ini memiliki keadaan yang sama dengan Jalun
namun kurang memiliki keberanian untuk mencoba. Semoga dengan adanya kisah ini
kita berlatih untuk merangkul mereka, bukannya dikucilkan dengan sikap dingin
pada lembaga yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar